Di balik kemajuan teknologi dan globalisasi, dunia menghadapi masalah serius yang sering terpinggirkan: krisis kesehatan mental. Depresi, kecemasan, hingga burnout meningkat tajam, terutama setelah pandemi. Namun, isu ini masih dianggap tabu di banyak negara. Pertanyaannya, apakah dunia siap menghadapinya sebagai krisis global?
Skala Masalah
WHO mencatat lebih dari 1 miliar orang di seluruh dunia mengalami gangguan kesehatan mental. Depresi bahkan menjadi penyebab utama disabilitas global. Biaya ekonomi akibat produktivitas yang hilang mencapai triliunan dolar setiap tahunnya.
Faktor Penyebab
- Tekanan Sosial-Ekonomi – Ketidakpastian pekerjaan, utang, hingga krisis ekonomi.
- Perubahan Gaya Hidup – Ketergantungan pada media sosial memicu perbandingan sosial berlebihan.
- Pandemi Covid-19 – Meningkatkan isolasi sosial dan rasa cemas.
- Konflik Global – Perang dan migrasi paksa memperburuk kondisi mental jutaan orang.
Dampak pada Generasi Muda
Generasi Z menjadi kelompok paling rentan. Tekanan akademik, krisis identitas, dan paparan media sosial membuat banyak anak muda mengalami depresi sejak dini. Fenomena “quarter life crisis” kini menjadi nyata di seluruh dunia.
Upaya Global
Beberapa negara mulai memperkuat sistem kesehatan mental dengan menyediakan layanan konseling gratis, kampanye kesadaran, hingga memasukkan edukasi mental health ke kurikulum sekolah. Perusahaan juga mulai menyediakan program wellness bagi karyawan.
Tantangan yang Masih Ada
Stigma terhadap gangguan mental masih kuat. Banyak orang takut mencari bantuan karena dianggap lemah atau gila. Selain itu, tenaga profesional kesehatan mental masih sangat terbatas, terutama di negara berkembang.
Penutup:
Kesehatan mental adalah krisis global yang nyata. Tanpa perhatian serius, dunia akan menghadapi generasi yang rapuh secara psikologis meski hidup di era kemajuan teknologi.